Minggu, 10 Juni 2012

Perbedaan Antara Anak-anak, Remaja dan Orang Dewasa Belajar, Transmisi Vertikal vs Lateral, Pendidikan dan Kehidupan


Perbedaan Antara Anak-anak, Remaja dan Orang Dewasa Belajar, Transmisi Vertikal vs Lateral, Pendidikan dan Kehidupan


Oleh :
M. Yuda Ramdani



A.    Pengertian Pendidiakan

Secara awam pendidikan dipandang sebagai suatu cara untuk mengembangkan ketrampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang bertujuan  untuk mengembangkan atau mengubah kognisi, afeksi dan konasi seseorang yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi warga negara yang baik. Sedangkan secara umum, ada dua sumber pustaka yang sering digunakan khlayak dan dapat mendefinisikan pendidikan secara umum yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Wikipedia (sebagai sumber media elektronik). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Dan menurut Wikipedia Pendidikan adalah satu ilmu pengetahuan sosial yang meliputi pengetahuan spesifik belajar-mengajar, kepercayaan, dan keterampilan.
Secara Etimologi, Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu Pedagogi, dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and scienceof teaching children).
Sebagian ahli juga mengemukakan definisi dari pendidikan. Rosseau mengungkapkan mendidik adalah memberikan pembekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, tapi dibutuhkan pada masa dewasa. Selain dari Rosseau, Langefeld menjelaskan bahwa  Mendidik adalah membimbing anak dalam mencapai kedewasaan. Langefeld dan Heageveld sama sama memandang bahwa pendidikan itu dimulai pada masa anak-anak untuk mncapai kedewasaan. Akan tetapi apakah pendidikan itu akan terhenti jika kedewasaan sudah di dapatkan?.
Ahli lainnya Bojonegoro mengungkapkan mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangannya sampai tercapai kedewasaan. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Bojonegoro mengungkapkan hal yang hampir sama dengan apa yang dikemukaan oleh Langefeld dan Heageveld sebelumnya. Sedangkan Ki Hajar Dewantara mengungkapkan hal yang berbeda, yang menganggap proses pendidikan berjalan terus dalam proses menuju suatu bentuk yang mendekati sempurna.
Banyak lagi pengertian pendidikan menurut para ahli, Darmaningtyas mengatakan tentang difinisi pendidikan yaitu pendidikan sebagai usaha dasar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup dan kemajuan yang ledih baik. Paulo Freire ia mengatakan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, damana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan. Menururt John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup. H. Horne menjelaskan pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Frederick J. Mc Donald mengungkapakan pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat.
Undang-undang (UU) Pendidikan Nomor 20 tahun 2003, menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Dari berbagai macam pengertian di atas, dapat di simpulkan pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka dalam arti sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


B.     Manusia dan Pendidikan

Manusia adalah makhluk yang diciptakan dan memiliki sifat  yang berbeda dengan makhluk lain yang hidup didunia ini. Sebaga makhluk monodualis, manusia memiliki  unsur jiwa dan raga yang menyatu dalam satu kesatuan dan tak dapat dipisahkan, dan dalam prosesnya  terus berkembang menuju kematangan, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hidupnya yang tercermin dalam gerak yang bersifat badani dan gerak kejiwaan dalam melakukan berbagai macam kegiatan dalam hidupnya.
Secara aspek filosofis, manusia memiliki akal , sehingga menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menerobos masa depan yang tak terhingga tidak ada batasnya dalam upaya mencapai sesuatu yang bersifat lebih indah,  lebih baik, dan lebih sempurna  yang dijadikan landasan hidupnya. Secara aspek psikologis, manusia mempunyai potensi untuk mengembangkann cipta, karsa dan karyanya melalui potensi fisik dan rohaninya, sehingga menghasilkan suatu karya agung dalam hidupnya. Dan secara aspek sosiologis secara sadar manusia perlu kesadaran mutlak bahwa hidupnya tidak bisa sendiri baik dengan sesama maupun dengan lingkungan , sehingga perlu pemupukan rasa kebersamaan ini. kesemua sifat dasar tersebut akan bertumbuh kembang secara alami bila manusia mengalami proses fisik dan psikis secara normal melalui proses secara sadar untuk mencapai sifat baik dalam diri seseorang yang disebut dengan pendidikan.
Dari dasar2 yang dimiliki tersebut manusia memiliki ciri2 untuk dapat dididik dapat diarahkan perilakunya  dan dibentuk menjadi manusia utuh. Manusia sangat membutuhkan pendidikan karena:
a.       Manusia dilahirkan dengan tak berdaya, banyak uluran orang lain yang membantunya.
b.      Manusia tidak langsung menjadi dewasa,  untuk mencapai kedewasaan perlu dibutuhkan pendidikan untuk dapat memiliki nilai2 yang dibutuhkan dalam hidupnya.
c.       Manusia adalah makhluk sosial, perlu pendidikan untuk mampu bersosialisasi dengan manusia lainnya .
Masalah utama dalam pendidikan adalah bagaimana mengembangkan semua kemampuan dasar manusia tersebut, sejak lahir sehingga menjadi makhluk sosial dengan tetap dalam lingkungan kemanusiannya Suatu pendidikan harus ada proses pembelajaran (learning process) , menurut UNESCO, terdapat empat pilar proses pembelajaran dalam pendidikan yaitu:
·         Pilar ke I “learn to know”  mempunyai makna bahwa proses pembelajaran merupakan proses untuk “menjadi tahu” dari sebelumnya “ tidak mengetahui “, melalui upaya pembekalan peserta didik dengan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengembangkan intelektualitasnya.
Bloom (1954) mengatakan pembekalan pengetahuan yang berbentuk ilmu pengetahuan merupakan upaya pengisian ranah “kognitif” (cognitive domain)  berupa hierarki  yang terdiri atas “ knowlegde, comprehension, aplication, analysisi, syntesis and evaluation” yang menjadi pembekalan awal seorang peserta didik.
·         Pilar ke 2 “ learn to do” mempunyai makna bahwa sorang anak didik setelah atau bersamaan dengan peserta didik mendapat pembekalan pengetahuan, ia harus menerima pula bekal ketrampilan dalam mengerjakan sesuatu.
Bloom (1954) mengatakan pembekalan pengetahuan yang berbentuk ketrampilan ini tercakup dalam ranah psikomotor (psikomotor domain) berupa hierarki “ perception set, guided response, mechanism, comp-lex evert response, adaption and origination”, yang menjadi bekal berikutnya peserta didik mampu mengerjakan sesuatu ketrampilan yang relevan dengan substansi yang dipelajarinya dalam proses belajar, tahap selanjutnya siswa diharapkan dapat dicapai tingkat komtensi yang sesuai dengan kebutuhan dan pasaran tenaga kerja.
·         Pilar ke III ”Learn to be” merupakan upaya pembekalan penyempurnaan pilar ke I dan ke II, sehingga peserta didik dengan bekal pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki, harus mampu mendayagunakannya untuk tercapai kemanfaatannya., sikap positif, bertanggung jawab, mengembangkannya dan mungkin menemukan yang baru (inovasi).
Bloom (1954) mengatakan pembekalan pengetahuan yang berbentuk penyempurnaan ini masuk dalam sikap atau ranah afektif (affective domain) yang dimiliki oleh seorang peserta didik berupa deretan hirarki : receiving, responding, valuing, organizing and characteristing.
·         Pilar ke IV. ”Learn to live together”  merupakan perpaduan ke tiga pilar terfdahulu dan terimplementasikan dalam kehidupan nyata, dalam pembentukan kehidupan character bvangsa (sense of being), kesiapan untuk terus belajar sepanjang hayat, tumbuhnya tanggung jawab, dan integritas, serta kesediaan untuk melayani kepentingan bersama dalam naungan bersama yang harmoni.
Sedangkan apabila kita melihat Pilar I sampai dengan Pilar III diarahkan pada sense of having, yakni bagaimana pendidikan dapat mendorong terciptanya sumberdaya manusia yang memiliki kualitas di bidang ilmu pengetahuan, teknologi serta kompetensi/keahlian untuk digunakan dalam meningkatkan kualitas hidup, sehingga peserta didik diajak berlomba dengan lebih proaktif, kreatif, inovatif mengarah pada profesionalitas dibidangnya.

C.    Definisi Pendidikan Orang Dewasa

Beberapa pakar terdahulu mendefinisikan bahwa pendidikan adalah upaya membimbing anak hingga mencapai proses kedewasaan. Dari definisi itu apakah hanya sebatas hingga mencapai tahap kedewasaan saja proses pendidikan berjalan dan ketika mencapai tahap kedewasaan proses pendidikan itu berhenti?. Apakah orang yang telah dewasa sudah tidak lagi membutuhkan pendidikan?. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, defenisi tersebut sudah mengalami redefinisi dalam perjalanannya menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Karena pada saat ini dalam kehidupan sehari-hari, proses pendidikan terjadi dimana saja dan kapan saja baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa.
Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini sudah berkembang suatu spesifik ilmu mengenai pendidikan orang dewasa atau dalam bahasa keilmuannya disebut dengan andragogi. Knowles (1973) menjelaskan, secara garis besar pendidikan orang dewasa atau andradogi adalah ilmu tentang memimpin atau membimbing orang dewasa atau ilmu mengajar orang dewasa. Pendidikan orang dewasa berbeda dengan konsep pendidikan untuk anak-anak, yang sering disebut dengan istilah pedagogi.
Knowles (1973), teori andragogi berlandaskan paling tidak empat dugaan utama yang berbeda pedagogi, yakni :
a.       Konsep diri, Seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dan ketergantungan total menuju kearah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinyalah orang dewasa membuutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.
b.      Pengalaman, peranan pengalaman yang dibawa peserta didik ke situasi belajar kurang bernilai. Hal itu mungkin hanya sebagai titik tolak. Pengalaman yang akan menjadi sumber utama bagi peserta didik adalah pengalaman para guru, penulis buku, pencipta audiovisual, ahli laboratorium dan sebaginya. Karena itu, teknik utama yang digunakan adalah teknik penerusan atau pemindahan (ceramah, tugas, dan lain-lain). Dalam andragogy, selama manusia tumbuh dan berkembang maka ia akan menyimpan banyak pengalaman dan karena itu akan menjadi sumber yang tak habis-habisnya untuk belajar, baik bagi mereka secara pribadi maupun bagi orang lain. Lagi pula otang memberikan arti yang lebih besar kepada pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman daripada yang diperoleh secara pasif.
c.       Kesiapan Belajar, Orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkat perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, akan tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas dan peran sosialnya. Belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
d.      Orientasi terhadap belajar, pedagogi melihat pendidikan sebagai suatu proses untuk memperoleh bahan pengajaran, yang sebagian besar mereka anggap hanya akan berguna di kemudian hari. Karena itu kurikulum seharusnya diatur menjadi satuan-satuan pelajaran yang mengikuti logika mata pelajaran yang bersangkutan. Jadi orientasi pedagogi berpusat pada mata pelajaran. Sebaliknya dalam andragogi, para peserta didik memandang pendidikan sebagai suatu proses pengembangan kemampuan untuk mencapai potensi kehidupan yang lebih baik.
Blakely dalam Boyd (1966) mendefinisikan bahwa pendidikan orang dewasa memiliki dua batasan. Ia menyatakan bahwa “..pendidikan orang dewasa merupakan pembelajaran sistematik yang penuh dengan tujuan berbeda dengan pengalaman yang belum teruji..”. Kemudian, ia menyatakan bahwa “…pendidikan orang dewasa menyiratkan suatu penghormatan atau penghargaan dengan maksud dan integritas dari pelajar, berbeda dengan usaha untuk berbohong atau mengelabui, mencontek, atau memanfaatkan…”. Kedua batasan tersebut dirasanya gagal untuk membedakan pengertian pendidikan orang dewasa dengan anak-anak dan remaja. Hal ini dikarenakan kebanyakan pendidik akan menggunakan materi yang sistematis, dan pengaaman teruji serta ridak ada guru yang tidak menghargai tujuan dan integritas dari anak-anak didiknya. Kemudian pada bab nya ia menyatakan  “…pendidikan orang dewasa tidak bisa didefinisikan dengan memuaskan..”.
Dari definisi Blakely, Byod mengungkapkan bahwa perlu adannya untuk mengidentifikasi isu atau masalah pokok sebelum membuat analisis masalah yang sistematis. Jenis yang diidentifikasi oleh orang dewasa tidak mengarah ke pokok pembahasan atau subjek materi, akan tetapi lebih mengarah kepada  klasifikasi kronologis. Kategori umur tidak menjadi sesuatu yang perlu di kedepankan dan penting dalam membangun pendidikan orang dewasa.
Para psikolog yang menggunkan istilah imitasi, bukanlah mengartikan ini dengan sikap meniru, mengikuti, bercermin mengulang atau membuat pola. Imitasi yang dimaksud adalah suatu arti yang “prinsip” yang dipelajari oleh remaja dan anak-anak, kemudian arti lainnya digunakan dalam proses pembelajarannya orang dewasa. Para psikolog menyamakan imitasi pada konsep identifikasi dan untuk memahami konsep tersebut harus dilihat sebagai pusat atau serangkaian proses dari perkembangan manusia dengan tujuan untuk memeriksa apakah identifikasi sebagai proses pusat dalam pembelajaran untuk anak-anak dan remaja, atau ada suatu kemungkinan identifikasi sebagai sebuah pengaturan fungsi sosio-psikologis dasar yang jelas membedakan pendidikan anak-remaja dengan pendidikan orang dewasa.
Seorang anak memulai kehidupannya sebagai organism yang bergantung penuh, dan selama tahun pertama kehidupannya sangat bergantung pada perawatan yang diberikan oleh individu lainnya. Kondisi ini tidak diketahui olehnya sampai pada proses perceptual dan berkembang hingga mampu merasakan perbedaan antara dirinya dengan orang yang memenuhi kebutuhannya. Akibat dari adanya perkembangan, muncul perbedaan yang memaksa anak pada sikap baru yang adaptif, kemudian tahap selanjutnya anak-anak melihat  orang dewasa yang merawatnya sebagai seseotang yang berkuasa karena dia memerintah tidak hanya tentang apa yang baik, namun juga apa yang penting bagi dirinya.
Sejak seorang anak menemukan bahwa dirinya tidak selalu bisa mengendalikan apa yang disediakan, maka akan lebih aman jika dirinya yang menjadi penyedia. Dengan menjadi penyedia, ia akan mampu mengendalikan apa yang baik dan penting untuk dirinya. Berkembang dari rasa ketidakpuasan sebagai penyedia merupakan kondisi awal dari sosialisasi. Hubungan sosial awal anak terhadap siapapun merupakan objek yang dicintainya. Identifikasi ini dimulai dari proses inkorporasi. Dengan intelektual dan perceptual yang berkembang, ia memperhatikan dan mulai mengenali objek yang dikenalinya. Perhatian yang terarah pada objek yang dicintainya memungkinkan ia memulai identifikasi melalui aksi introjeksi. Introjeksi adalah menyerap kedalam ego karakteristik dari orang lain yang mempunyai hubungan emosional yang kuat untuk mengamankan seseorang dari ketidaktahuan dan bahaya. Selama proses ini seorang anak belajar mengerti dunia.
Fenichel dalam Boyd (1966) mendeskripsikan proses yang diikuti materi : Mula-mula, anak sebenarnya mempunyai keinginan untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh orang tuanya. Tujuannya adalah sebuah identifikasi dengan kegiatan orang tua, bukan larangan orang tua. Berikut dibawah ini akan dipaparkan Formula perkembangan anak;

Anak melalui aksi inkorporasi dan introjeksi

Subjek materi yang bervariasi
Kegiatan orang tua dan larangannya

Mengidentifikasi
 






Jalannya materi subjek tidak secara langsung, namun selalu melalui orang tua atau penggantinya. Pada saat anak masuk sekolah, ia mulai mengembangkan super-ego kepentiganya, sehingga formula tersebut tidak berubah secara mendasar. Apa yang ditambahkan adalah strukturisasi yang lebih terarah dan hubungan terarah tersebut disadari sebagai performa yang benar dari aktivitas yang standar. Seorang anak segera belajar bahwa ia tidak bisa bersandar pada penghargaan sebelumnya dan pada saat yang bersamaan menikmati pengakuan atau cinta dari guru. Perhatian sang anak secara timbal balik dari guru adalah suatu kepentingan dalam lingkungan pendidikan bahwa formula yang ditampilkan di atas perlu dimodifikasi dengan hubungan yang dinamis.
umpan-balik pada penanganannya anak dari aktivitas dan standar seperti perasa oleh guru

Identifikasi

Subjek materi yang bervariasi
Perlakuan yang sesuai
Standar dan aktifitas guru
 







Dalam pendidikan, lingkungan anak dan guru tidak bisa netral atau tangensial terhadap pembelajaran. Guru menjalankan posisi transaksional dalam banyak cara yang khusus dan berhubungan kehidupan yang secara parallel antara anak dan orang tua dan kebebasannya untuk tumbuh.
Pada fase pubertas, pegangan hidup seorang anak muncul, kedekatan super-ego, ego-ideal menjadi diluar proporsi dan terlalu dilebih-lebihkan tidak seperti kehidupan yang nyata. Pemisahan dari super ego dan pengetahuan tentang kenyataan yang tumbuh membuat ego-ideal lebih nyata dan anak memasuki masa remaja. Ego ideal menjadi model bagi remaja.
Perkembangan ego-ideal dan penggunanaan model adalah tahap akhir dari identifikasi. Kedekatan dari figure seorang yang berkuasa tidak lagi dibutuhkan. Proses pembelajaran remaja telah mengembangkan mekanisme ego adaptif seperlunya bahwa dia telah mencapai tahap mampu mendalami dan menjaga sebuah gambaran dari model yang dipilih. Dia mampu untuk membandingkan sikapnya sendiri terhadap apa yang dia terima menjadi atau akan menjadi sikap dari modelnya.
Model Menginginkan remaja untuk bermain dengan ide dan nilai. Model sangat membantu seseorang muda untuk mengetahui diri mereka sendiri sebagai apa dan bagaimana mereka menjadi seseorang. Erikson dalam Boyd (1966) menyebut tahap ini sebagai sebuah krisis antara identitas ego dan kebingungan peran serta pemecahan masalah dari krisis ini sangat sulit untuk kebanyakan orang remaja.
Tahap akhir dari perkembangan remaja adalah model harus tetap diberikan. Wanita atau pria harus berdiri sendiri dan menghadapi dunia dengan identitas individual masing-masing. Pada tahap ini diharapkan bahwa remaja dewasa tahu, menegaskan, mengikuti serangkaian standar yang dia miliki dan telah dikembnagkan fungsi dan kapasitas sebuah kemampuan untuk menjalankan adaptasi kepintaran. Hal ini menunjukkan penanganan langsung dari materi subjek dan perbedaan antara pendidikan anak dan dewasa.
Pada pendidikan anak-remaja orang ketiga dibutuhkan dalam pembelajaran. Proses identifikasi yang mengarah pada sosialisasi yang individual berkembang dan telah memenuhi tujuan mereka pada saat lingkungan orang dewasa masuk. Pelajar dewasa tidak seperti anak dan remaja, dia dapat mendekati materi subjek secara langsung dalam sebuah pengaturan peran yang menekan antara pelajar dan materi subjek. Orang dewasa tahu standard an harapannya sendiri, dia tidak perlu lagi diberitahu, atau tidak butuh hadiah dari yang berkuasa.
Ekspresi yang umum “ dia menikmati belajar untuk dirinya sendiri”. Hal ini memiliki kualitas mistik yang baik dan menjelaskan bahwa manusia memiliki sesuatu. Kemungkinan kegagalannya terletak pada diri manusia yang meniadakan motivasi. Pelajar dewasa tidak memuaskan orang lain, namun dirinya sendiri dan memiliki signifikansi sosial yang besar. Materi subjek tidak membedakan tingkat keberagaman pendidikan dan ditentukan oleh bagaiman pendekatan siswa dewasa dan instruktur dalam pembelajaran.
Formula yang disarankan pada kondisi ini yang dapat membuat kedinamisan orang dewasa belajar adalah :   
Orang dewasa memiliki standard an harapan sendiri berdasarkan identitas yang ia kenali


Masuk kedalam Materi Subjek

Menentukan apa yang ingin ia pelajari
 








Guru tidak bekerja diantara pelajar dan materi subjek, tugas dasar guru adalah untuk menolong orang dewasa mencapai tujuan pembelajaran yang ditentukan dalam materi struktur. Tujuan pembelajaran dapat sempit ataupun terlalu besar serta diskusi harus berdasarkan pendapat logis dan tidak dalam kekuasaan, cinta, atau ketakutan. Orang dewasa langsung menuju subjek materi dan tidak melalui proses identifikasi. Instrktur menggunakan humor, bercanda dengan siswa mereka merupakan teknik manipulatif. unruk mendapatkan kesan siswa agar dia enjoy. Siswa yang berada pada kondisi pembelajaran seperti ini memerlukan dukungan dan struktur yang disediakan oleh instruktur.
Perbedaan antara konsep andragogi dan pedagogi adalah bahwa konsep andragogi berkaitan dengan proses pencarian dan penemuan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk hidup, sedangkan konsep pedagogi berkaitan dengan proses mewariskan kebudayaan yang dimiliki generasi yang lalu kepada generasi sekarang.

D.    Redefinisi Pendidikan

Kenyataan menunjukkan bahwa dunia hari ini telah memperlihatkan masalah dalam suatu proses pembelajaran yang menuntut penafsiran kita terhadap pendidikan harus berubah secara radikal. Walaupun sistem pendidikan pada dasarnya tidak berubah, namun kita tidak lagi secara utama berhubungan dengan transmisi vertical. Sitem pendidikan inilah yang berkembang secara stabil dan lambat laun brubah budaya. Sistem pendidikan yang mengedepankan transmisi vertikal pengetahuan tidak lagi memadai dalam pencapaian tujuan pendidikan didunia yang penuh dengan perubahan. Apa yang dibutuhkan dan apa yang telah dilaksanakan merupakan dimensi lain dari proses pendidikan. Transmisi Lateral pada setiap setiap anggota masyarakat sangat masuk akal dan tidak imajinatif dalam memperkirakan krisis yang terjadi pada saat sekarang ini.
Perubahan menjadi semakin cepat, sehingga tidak bisa ditinggalkan pada generasi selanjutnya. Orang dewasa harus terus-menerus ambil bagian, menyesuaikan menggunakan dan membuat inovasi dalam arus kondisi dan penemuan baru yang tetap, umur guru tidak lagi mempunyai sangkut paut atau singkatnya anak-anak telah belajar menjalankan televisi, dan elektronik lainnya serta peralatan baru yang otomatis melebihi apa yang seniornya usahakan. Hal in yang disebut transmisi lateral dari pengetahuan.
Untuk memfasilitasi transmisi lateral pengetahuan, kita perlu mengetahui apa itu pendidikan primer dan apa itu pendidikan skunder. Pendidikan primer dapat diartikan sebagai tahap pendidikan, dimana semua anak diajari apa yang perlu mereka tahu dengan tujuan akan menjadi manusia yang sepenuhnya didunia dimana mereka tumbuh, termasuk keahlian dasar membaca dan menulis serta pengetahuan dasar akan angka, uang, geografi, transportasi, dan komunikasi, hukum dan Negara di dunia. Sedangkan pendidikan sekunder dapat dartikan sebagai pendidikan yang didasari oeleh pendidikan primer,dan apa yang didapat atau tambahan pada saat apapun selama kehidupan.
Pada sistem pendidikan seperti ini, kita dapat memberikan pendidikan primer dan perlindungan pada anak sebaik pengawasan perlindungan dan sensitive bagi remaja. Kita dapat kembali pada dasarnya secara potensial setiap manusia belajar pada tingkat apapun. Hak untuk mendapatkan pendidikan sekunder kapan dimana individu ini gunkan harus termasuk tidak hanya akses pada tipe konvensional yang ada namun juga hak akses pada tipe pelatihan kerja yang belum atau sedang dikembangkan (jenis kerja magang dan juga kerja tim yang baik).
Dalam pemikiran mengenai sistem pendidikan yang efektif, kita harus menyadari bahwa kebutuhan dan hak bekerja remaja sebesar kebutuhan pentingnya dan hak untuk belajar. Kita juga harus menyadari bahwa kebutuhan orang dewasa dan hak untuk mempertahankan pekerjaan yang sama hingga enampuluh lima tahun. Kita bisa melakukannya dengan membuat sebuah sistem pendidikan dimana semua individu akan diyakinkan pendidikan sekunder yang lebih tinggi yang mereka mau dan gunakan setiap selam hidupnya.
 
E.     Pendidikan dan Kehidupan
Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan. Sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak akan pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses belajar hamper selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan, misalnya psikologi pendidikan dan psikologi belajar. Belajar juga memaikan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) ditengah persaingan yang semakin ketat diantara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar. Karena demikian pentingnya arti belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi belajarpun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia.
Prinsip yang kita harapkan dapat kita bangun adalah hal yang paling penting dalam hal ini yakin kenaikan permintaan berbagai macam akan fasilitas pendidikan, yang secara kasar dianggap bukan sekolah kejujuran, tapi dikembangkan menjadi luas satu atau yang lain dari karasteristik dengan tujuan kehidupan atau untuk kepuasan dan keinginan yang beralasan.
Pertama, pendidikan dipahami sebagai persiapan untuk kehidupan, dan mengunci proses pembelajaran yang sangat kompleks bagaikan lingkaran setan, dalam arti remaja dididik dalam pemikiran orang dewasa, dan diajari berfikir sebagai proses yang berakhir saat kehidupan yang sebenarnya baru dimulai. Pendidikan adalah kehidupan yang tidak selalu diartikan sebagai persiapan akan sesuatu yang terjadi dimasa depan. Seluruh kehidupan adalah pendidikan, oleh karena itu pendidikan tidak memiliki batas akhir. Hal ini disebut sebagai pendidikan orang dewasa yang bukan karena berhubungan dengan orang dewasa, namun karena lingkungan orang dewasa.
Kedua, pada keadaan dunia yang menuntut spesialisasi, setiap orang butuh belajar akan pekerjaannya dan jenis pendidikan manapun dapat membantu pekerja untuk melihat pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga, pendekatan pada pendidikan orang dewasa akan melalui situasi atau bukan subjek. Setiap orang dewasa menempatkan dirinya pada situasi spesifik yang berhubungan dengan pekerjaan dan kehidupan keluarganya yang digunakan sebagai penyesuaian. Keempat, sumber dari nilai yang tinggi pada pendidikan orang dewasa adalah pengalaman bekerja.
Jika pendidikan adalah kehidupan, maka kehidupan juga adalah pendidikan. Oleh karena itu semua pendidikan akan tetap berjalan dan berfikir bersama. Kehidupan menjadi rasional, berarti belajar mengenai sesuatu yang kita lakukan. Jika kita hidup secara pantas, kita akan menemukan bahwa pengalaman kita bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Metode pengajaran yang berjalan dari asumsi ini perlu dikonotasi bahwa semua nilai dan arti dapat diterapkan pada setiap orang yang selanjutnya menilai diri sendiri dalam penggunaan metode dalam pengajaran. Disamping itu kita menilai bahwa secara alami manusia beragam dan arti kehidupan tergantung pada setiap individu.
Jika kepribadian seseorang berjalan kearah generalisasi, kebanyakan orang menemukan arti kehidupan. Oleh karena itu diperlukan suatu penuntun fragmatis yang dapat mengartikan posisi diman orang berjuang, tujuan yang mereka atur untuk dirinya, keinginan mereka, kebutuhan, hasrat dan harapan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Definisi Pendidikan. http://www.scribd.com/doc/7592955/Definisi-Pendidikan [8 Okt 2009]
Boyd, Robert D. 1966. A Psycological Definition of Adult Education. University of Wisconsin
Depdikbud R.I. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Fatma. 2005. Perbedaan Mengajar untuk Dewasa dan Anak-anak. http://yvettenmt.multiply.com/journal/item/1 [8 Okt 2009]
Knowles, Malcom. 1973. The Adult Learner : A Negleted Species. Gulf Publishing Company Book Division. Houston
Soenarmo, JH. 2009. Materi Kuliah Psikologi Belajar Mengajar. Mayor PPN. SPS-IPB. Bogor

MAKNA, KONSEP, FALSAFAH, DAN PRINSIP PENYULUHAN PEMBANGUNAN


MAKNA, KONSEP, FALSAFAH, DAN PRINSIP PENYULUHAN PEMBANGUNAN

Oleh:
M. Yuda Ramdani



·         MAKNA DAN KONSEP PENYULUHAN PEMBANGUNAN

Istilah penyuluhan dikenal secara luas dan diterima oleh mereka yang bekerja di dalam organisasi pemberi jasa penyuluhan, tetapi tidak demikian halnya bagi masyarakat luas. Karena belum ada definisi yang disepakati, diperlukan untuk memberikan pandangan serta dampak yang ditimbulkannya.
Kata penyuluhan dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “suluh” yang artinya seperti obor atau barang yang dipakai untuk menerangi. Pada awal sejarahnya dahulu, Van Den Ban (1999) dalam perjalanannya mencatat beberapa istilah penyuluhan seperti di belanda disebut voorlichting, di jerman dikenal sebagai advisory work (berating), vulgarization (Prancis), dan capacitation (Spanyol). Rolling (1988) dalam Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa Freire (1973) pernah melakukan protes terhadap kegiatan penyuluhan yang berseifat top-down. Karena itu, dia kemudian menawarkan beragam istilah pengganti extension seperti: animation, mobilization, conscientisation. Di Indonesia dipergunakan istilah penyuluhan sebagai terjemahan dari voorlichting.
Menurut Van Den Ban (1999), penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Sebagai contoh : Suatu kegiatan penyuluhan tanaman pangan, dimana seorang penyuluh membantu memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada para petani tentang pentingnya menanam tanaman pangan untuk menjaga keamanan pangan rumah tangga, daerah dan negara, sehingga para petani dapat mempertimbangkan betapa pentingnya menanam tanaman pangan dan pada akhirnya itu menjadi salah satu pertimbangan oleh petani dalam mengambil keputusan komoditi apa yang akan ditanamnya di lahan pertaniannya.
Pengertian penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan Setiana. L. dalam Kartono (2008).
Hubeis (2007) Menyatakan bahwa penyuluhan adalah sebagai proses pembelajaran (pendidikan nonformal) yang ditujukan untuk petani dan keluarganya dalam pencapaian tujuan pembangunan. Maksudnya bila di contohkan adalah seperti suatu kegiatan penyuluhan Keluarga Berencana (KB) yang dahulu intensif dilakukan kepada masyarakat, termasuk masyarakat petani yang pada umumnya golongan menengah ke bawah. Hal ini dilakukan dahulu secara intensif sehingga bisa menekan laju pertumbuhan penduduk dan bisa meningkatkan perekonomian rakyat sedikit demi sedikit guna mencapai tujuan dari pembangunan.
Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa kegiatan penyuluhan diartikan dengan berbagai pemahaman seperti:
1.      Penyebarluasan (informasi)
2.      Penerangan/penjelasan
3.      Pendidikan non-formal (luar-sekolah)
4.      Perubahan perilaku
5.      Rekayasa sosial
6.      Pemasaran inovasi
7.      Perubahan sosial (perilaku individu, niilai-nilai, hubungan antar individu, kelembagaan dan lain-lain)
8.      Pemberdayaan masyarakat (community empowerment)
9.      Penguatan Komunitas (community strengthening)
Karena itu menurut mardikanto (2003), penyuluhan pertanian merupakan suatu proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan dalam prilaku pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatip yang semakin sejahtera secara berkelanjutan. Sebagai contoh untuk hal ini adalah program penyuluhan dari pihak swasta dalam ini LSM kepada seluruh komponen masyarkat dan pemerintahan akan pendingnya hutan sebagai paru-paru dunia. Dalam proses penyuluhan ini dilakukan dengan berbagai pendekatan sehingga munculah kesadaran dari berbagai pihak akan pentingnya kawasan hutan untuk dilindungi, dilestarikan, serta dikelola secara bijaksana. Selain dalam kegiatan penyuluhan tersebut terdapat juga didalamnya kegiatan pendampingan masyarakat desa sekitar hutan dalam upaya memberdayakan ekonomi masyarakat dan untuk menghindari masyarakat kembali mengeksploitasi hutan dengan pembentukan koperasi wanita dengan unit usaha tertentu untuk membantu perekonomian masyarakat.
Menurut rumusan UU No. 15/2006, Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Masih banyak lagi pengertian dari penyuluhan itu sendiri, akan tetapi dari beberapa penjelasan diatas, cukup untuk ditarik kesimpulan bahwa : Penyuluhan Pembangunan merupakan bagian penting yang tak bisa dipisahkan dari proses pembangunan/pengembangan masyarakat dalam arti luas. Dan, penyuluhan pembangunan merupakan suatu kegiatan proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan dalam prilaku pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatip yang semakin sejahtera secara berkelanjutan (sustainable). Intinya, Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan)dengan tujuan mengubah perilakunya agar sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang makin modern. Ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri (helping people to help themselves).


·         FALSAFAH PENYULUHAN PEMBANGUNAN

Kata falsafah adalah bahasa Arab. Dalam bahasa Yunani adalah philosophia (philo = cinta ; Sophia = hikmah). Falsafah dalam bahasa Greek berarti love of wisdom, cinta akan kebijaksanaan yakni menunjukkan harapan/kemajuan untuk mencari fakta dan nilai kehidupan yang luhur. Plato (filosof Yunani) mengartikan falsafah sebagai ilmu pengatahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Walter Kaufmann, menyebutkan bahwa falsafah adalah pencarian kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan argumentasi.
Dalam khasanah kepustakaan penyuluhan pertanian, banyak di jumpai beragam falsafah penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan itu, Ensminger dalam Mardikanto (2009) mencatat adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan. Di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3-T: teach, truth, and trust (pendidikan, kebenaran dan kepercayaan/keyakinan). Artinya, penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini. Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi perbaikan kesejahteraannya.
Asngari dalam Ikbal (2007) mengemukakan beberapa falsafah penyuluhan, yakni:
1.      Falsafah mendidik/pendidikan (bukannya klien “dipaksa-terpaksa terbiasa”
Ki Hajar Dewantoro (Syarif Tayeb, 1977) menyebutkan bahwa dalam proses pendidikan digunakan falsafah : “hing ngarsa sung tulada (memberi/menunjukkan arah akan perubahan), hing madya mangan karsa (merangsang terjadinya perubahan), tut wuri handayani (mengembangkan dan mewujudkan potensi klien).
2.      Falsafah pentingnya individu : Pentingnya individu ditonjolkan dalam pendidikan/penyuluhan pada umumnya, sebab potensi diri pribadi seseorang individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan.
3.      Falsafah Demokrasi : Klien diberi kebebasan untuk berkembang agar mereka dapat mandiri sekaligus dapat bertanggungjawab sesuai dengan perkembangan intelektualnya.
4.      Falsafah Bekerjasama : Falsafah Ki Hadjar Dewantoro “hing madya mangun karsa” mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh/agen pembaruan dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa (dalam proses belajar) mengembangkan usaha bagi dirinya.
5.      Falsafah “Membantu Klien Membantu Diri Sendiri.” Thompson Repley Bryant (Vines dan Anderson, 1976 :81 dalam Asngari, 2001), seorang penyuluh kawakan Amerika Serikat, menggaris bawahi falsafah ini dengan mengatakan : Makna falsafah ini menunjukkan landasan orientasi pentingnya individu membantu diri sendiri. Dari falsafah ini pula dikembangkan landasan kegiatan "dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka."
6.      Falsafah Continou/berkelanjutan : Dunia berkembang, manusia berkembang, ilmu berkembang, teknologi berkembang, sarana berkembang, usaha berkembang, jadi harus sesuai dengan perkembangan : 1) materi yang disajikan, 2) cara penyajian, dan 3) alat bantu penyajian.
7.      Falsafah Membakar Sampah (secara tradisional, baik individual, maupun berkelompok).
·         Ini analogi ; kemungkinan sampahnya “basah semua” siram dengan minyak tanah (jangan sekali-kali dengan bensin) lalu dibakar (kadang-kadang perlu beberapa kali disiram minyak tanah dan dibakar sampai ada yang kering dan merambat mempengaruhi kekeringan yang lain), ini pendekatan kelompok yang semuanya belum membangun.
·         Bagi seorang individu, falsafah ini pun berlaku, dengan bertahap penuh kesabaran menunggu perkembangan. Falsafah ini memang harus dilandasi adanya kesabaran menunggu perkembangan individu klien. Inilah kunci proses mendidik/menyuluh untuk mengembangkan dan mewujudkan potensi individu lebih berdaya dan mandiri. Individu lebih berdaya sebagai hasil mendinamiskan diri, sehingga individu mampu berprestasi prima secara mandiri
Rumusan lain yang lebih tua yang dikutip Kelsey dan Hearne dalam Mardikanto (2009) menyatakan bahwa falsafah penyuluhan harus berpijak kepada pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya. Karena itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah penyuluhan adalah: bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help themselves).

·         PRINSIP PENYULUHAN PEMBANGUNAN

Mathews dalam Mardikanto (2009) menyatakan bahwa: prinsip adalah suatu pernyataan tentang kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten. Karena itu, prinsip akan berlaku umum, dapat diterima secara umum, dan telah diyakini kebenarannya dari berbagai peng-amatan dalam kondisi yang beragam. Dengan demikian “prinsip” dapat dijadikan sebagai landas-an pokok yang benar, bagi pelaksanaan kegiatan yang akan dilak-sanakan.
Prinsip penyuluhan pertanian adalah pedoman atau pegangan dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan yang dapat diterima kebenarannya dalam bertingkah laku. Untuk itu penyelenggaraan penyuluhan harus: menurut keadaan yang nyata, ditujukan kepada kepentingan dan kebutuhan sasaran, merupakan pendidikan yang demokrasi, perencanaanya disusun bersama, bersifat fleksibel dan penilaian hasil didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada sasaran (Kartono, 2008)
Meskipun “prinsip” biasanya diterapkan dalam dunia akademis, Leagans dalam Mardikanto (2009) menilai bahwa setiap penyuluh dalam melaksanakan kegiatannya harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip penyuluhan. Tanpa berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah disepakati, seorang penyuluh (apalagi administrator penyuluhan) tidak mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Bertolak dari pemahaman penyuluhan sebagai salah satu sistem pendidikan, maka penyuluhan memiliki prinsip-prinsip:
1.      Mengerjakan, artinya, kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/ menerapkan sesuatu. Karena melalui “mengerjakan” mereka akan mengalami proses belajar (baik dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan ketram-pilannya) yang akan terus diingat untuk jangka waktu yang lebih lama.
2.      Akibat, artinya, kegiatan penyuluhan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik atau bermanfaat. Sebab, perasaan senang/puas atau tidak-senang/kecewa akan mempengaruhi semangatnya untuk mengikuti kegiatan belajar/ penyuluhan dimasa-masa mendatang.
3.      Asosiasi, artinya, setiap kegiatan penyuluhan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya. Sebab, setiap orang cenderung untuk mengaitkan/menghubungkan kegiatannya dengan kegiatan/peris-tiwa yang lainnya.
Misalnya, dengan melihat cangkul orang diingatkan kepada penyuluhan tentang persiapan lahan yang baik; melihat tanaman yang kerdil/subur, akan mengingatkannya kepada usahaa-usaha pemupukan, dll.
Lebih lanjut, Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (2009) mengungkapkan prinsip-prinsip penyuluhan yang lain yang mencakup:
1.      Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. Mengenai hal ini, harus dikaji secara mendalam: apa yang benar-benar menjadi minat dan kebutuhan yang dapat menyenangkan setiap individu maupun segenap warga masyarakatnya, kebutuhan apa saja yang dapat dipenyui sesuai dengan terse-dianya sumberdaya, serta minat dan kebutuhan mana yang perlu mendapat prioritas untuk dipenuhi terlebih dahulu.
2.      Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan akan efektif jika mampu melibatkan/menyentuk organisasi masyarakat bawah, sejak dari setiap keluarga/kekerabatan.
3.      Keragaman budaya, artinya, penyuluhan harus memperha-tikan adanya keragaman budaya. Perencanaan penyuluhan harus selalu disesuaikan dengan budaya lokal yang beragam. Di lain pihak, perencanaan penyuluhan yang seragam untuk seti-ap  wilayah seringkali akan menemui hambatan yang bersumber pada keragaman budayanya.
4.      Perubahan budaya, artinya setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. Kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati agar perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan-kejutan budaya. Karena itu, setiap penyuluh perlu untuk terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal seperti tabu, kebiasaan-kebiasaan, dll.
5.      Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan hanya akan efektif jika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerjasama dalam melaksanakan program-program penyuluhan yang telah dirancang.
6.      Demokrasi dalam penerapan ilmu, artinya dalam penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menawar setiap ilmu alternatif yang ingin diterapkan. Yang dimaksud demokrasi di sini, bukan terbatas pada tawar-menawar tentang ilmu alternatif saja, tetapi juga dalam penggunaan metoda penyuluhan, serta proses pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh masyarakat sasarannya.
7.      Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat “belajar sambil bekerja” atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan. Dengan kata lain, penyuluhan tidak hanya sekadar menyampaikan informasi atau konsep-konsep teoritis, tetapi harus memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk mencoba atau memperoleh pangalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata.
8.      Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang selalu disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosialbudaya) sasarannya. Dengan kata lain, tidak satupun metoda yang dapat diterapkan di semua kondisi sasaran dengan efektif dan efisien.
9.      Kepemimpinan, artinya, penyuluh tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang hanya bertujuan untuk kepentingan/kepuasannya sendiri, dan harus mampu mengembangkan kepemimpinan. Dalam hubungan ini, penyuluh sebaiknya mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin lokal atau memanfaatkan pemimpin lokal yang telah ada untuk membantu kegiatan penyuluhannya.
10.  Spesialis yang terlatih, artinya, penyuluh harus benar-benar pribadi yang telah memperoleh latihan khusus tentang segala sesuatu yang sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh. Penyuluh-penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan-kegiatan khusus akan lebih efektif dibanding yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan (meskipun masih berkaitan dengan kegiatan pertanian).
11.  Segenap keluarga, artinya, penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. Dalam hal ini, terkandung pengertian-pengertian:
a.       Penyuluhan harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga,
b.      Setiap anggota keluarga memiliki peran/pengaruh dalam setiap pengambilan keputusan,
c.       Penyuluhan harus mampu mengembangkan pemahaman bersama
d.      Penyuluhan mengajarkan pengelolaan keuangan keluarga
e.       Penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluarga dan kebutuhan usahatani,
f.       Penyuluhan harus mampu mendidik anggota keluarga yang masih muda,
g.      Penyuluhan harus mengembangkan kegiatan-kegiatan keluar-ga, memperkokoh kesatuan keluarga, baik yang menyangkut masalah sosial, ekonomi, maupun budaya
h.      Mengembangkan pelayanan keluarga terhadap masyarakat-nya.
12.  Kepuasan, artinya, penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan.
Adanya kepuasan, akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan selanjutnya.
Terkait dengan pergeseran kebijakan pembangunan pertanian dari peningkatan produktivitas usahatani ke arah pengembangan agribisnis, dan di lain pihak seiring dengan terjadinya perubahan sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia, telah muncul pemikiran tentang prinsip-prinsip, Soedijanto dalam Arip (2009):
1.      Kesukarelaan, artinya, keterlibatan seseorang dalam kegiatan penyuluhan tidak boleh berlangsung karena adanya pemaksaan, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran sendiri dan motivasinya untuk memperbaiki dan memecahkan masalah kehidupan yang dirasakannya.
2.      Otonom, yaitu kemampuannya untuk mandiri atau melepaskan diri dari ketergantungan yang dimiliki oleh setiap individu, kelompok, maupun kelembagaan yang lain.
3.      Keswadayaan, yaitu kemampuannya untuk merumuskan melak-sanakan kegiatan dengan penuh tanggung-jawab, tanpa menunggu atau mengharapkan dukungan pihak luar.
4.      Partisipatip, yaitu keterlibatan semua stakeholders sejak peng-ambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, eva-luasi, dan pemanfaatan hasil-hasil kegiatannya.
5.      Egaliter, yang menempatkan semua stakehoder dalam kedudukan yang setara, sejajar, tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang merasa diirendahkan.
6.      Demokrasi, yang memberikan hak kepada semua pihak untuk mengemukakan pendapatnya, dan saling menghargai pendapat maupun perbedaan di antara sesama stakeholders.
7.      Keterbukaan, yang dilandasi kejujuran, saling percaya, dan saling mempedulikan.
Kebersamaan, untuk saling berbagi rasa, saling membantu dan mengembangkan sinergisme.
8.      Akuntabilitas, yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka untuk diawasi oleh siapapun.
9.      Desentralisasi, yang memberi kewenangan kepada setiap daerah otonom (kabupaten dan kota) untuk mengoptimalkan sumberdaya pertanian bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat dan kesinambungan pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

Arip. 2009. Pengertian Penyuluhan. [terhubung berkala] http://masarip.blog.friendster.com/2009/02/pengertian-penyuluhan/. [4 Okt 2009]
Depdikbud R.I. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Hubeis, AVS. 2007. Motivasi, Kepuasan Kerja dan Produktifitas Penyuluh Pertanian Lapangan (Kasus Kabupaten Sukabumi). Jurnal Penyuluhan Vol 3, No 2. Bogor. Program Study Ilmu Penyuluhan Pembangunan.
Iqbal. 2007. Penyuluhan Pembangunan dan Masa Depan Bangsa.[terhubung berkala] http://eeqbal.blogspot.com/2007/11/falsafah-penyuluhan-pembangunan.html.       [7 Okt 2009]
Kartono. 2008. Pengertian Penyuluhan Pertanian. http://ronggolawe13.blogspot.com/2008/01/pengertian-penyuluhan-pertanian.html [7 Okt 2009]
Mardikanto, T. 2003. Redefinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Sukoharjo : PUSPA
-----------. 2009. Membangun Pertanian Modern. Surakarta : UNS-Press
-----------. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta : UNS-Press
Sekretariat Negara R.I. 2006. Undang-undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta: Sekretariat Negara RI
Van den Ban, A.W. and H.S. Hawkins, 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius